KDI dan Kontes Al-Qur’an

Prestasi duta Aceh pada Musabaqah Tilawatil Qur’an Nasional (MTQN) ke-22 di Serang, Banten sangat memalukan. Bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar, (Serambi Indonesia/26 Juni 2008). Dan menurut kabar seperti yang di wartakan oleh media ini, tidak sebanding dengan anggaran pembinaan yang mencapai 5 Miliar.
Lalu berbagai pertanyaan akan ditujukan kepada orang yang bertanggung jawab memimpin Nanggroe yang sudah melaksanakan syariat islam ini 7 tahun lebih.

Kita malu seharusnya dengan Provinsi Papua Barat yang minoritas islam tapi berhasil masuk sepuluh besar. Entah berapa anggaran untuk mereka, sehingga hasilnya lumayan gemilang. Sah-sah saja jika kritikan dan kekecewaan yang di keluarkan oleh beberapa Anggota DPR Aceh, jika Kafilah Aceh tidak masuk dalam sepuluh besar. Saya yang sebagai orang Aceh tentu juga merasa malu dengan “prestasi “ yang di raih duta Aceh.

Apa kerja orang-orang yang telah di tunjuk untuk membina dan mengolkan para Qari dan Qariah supaya agar berprestasi. Maka perlu juga kita bertanya pada setiap insan yang tinggal dan hidup di Aceh. Menakar Syariat Islam kita yang sangat terpuruk tentunya. Ini bisa dinilai dan menjadi patokan oleh provinsi-provinsi lain di seluruh Indonesia.

Tak perlu mereka datang ke Aceh dan melihat langsung watak dan moral serta budaya islam kita (Aceh); Oh, orang Aceh rupanya belum pandai dan fasih betul dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an. Apa juga negeri Syariat Islam yang sudah berjalan selama 7 tahun lebih.

Baiklah, sekarang mari kita bandingkan dengan sebuah kontes nasional yang sedang dilaksanakan di Jakarta dan Aceh juga diwakili oleh duta untuk membawa harum nama Aceh. Ada beberapa kesamaan pada dua kontes ini. Adalah even tingkat nasional dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti ajang yang sudah meunasional tersebut. Sama-sama bertanding untuk membuktikan siapa olah vokal yang baik dan layak menjadi juara.

KDI ke-5 yang di laksanakan oleh sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta yang mengundang perhatian pemirsa seluruh tanah air. Tak ketinggalan orang-orang yang berada di ujung barat Pulau Sumatera, Aceh tentunya. Virus KDI begitu menggema di mana-mana pada setiap malam Sabtu dan Minggu di setiap rumah penduduk di kampung-kampung dan kota di Aceh. Apalagi salah seorang peserta kontes itu berasal dari Aceh. Cut Niken dari Lhokseumawe. Adalah satu-satunya peserta yang tiap Minggu menjadi juara episode. Benar-benar juara sejati sepertinya. Dan ini tidak terlepas dukungan dari pemirsa seluruh Indonesia khususnya Aceh. Belum lagi dukungan dari pejabat Pemerintah Aceh seperti dari Istri Bapak Wakil Gubernur, dan beberapa pejabat daerah lainnya.

Bahkan dibeberapa tempat diadakan nobar (nonton bareng) layar tancap untuk mendukung Niken agar tidak tersisih dan terus melaju sampai menjadi Juara KDI 5 ini. Jangan tanya Anggaran untuk ajang yang satu ini. Yakinlah ada dari Pemerintah Aceh. Angka pasti kita tidak tau. Lihat saja di daerah Kota Lhokseumawe bertaburan Baliho dan Spanduk mohon doa dan dukungan agar setiap orang mengirimkan sms untuk Niken agar tidak tersisih. Seandainya setiap peserta MTQ juga dilakukan sistem penilaian dengan sms, tentu juga kita masih berpikir untuk mendukung karena akan mengeluarkan pulsa yang tidak sedikit karena ada begitu banyak duta Aceh yang tampil pada MTQ itu.

Maka sebagai rakyat yang hidup di Bumi Serambi Mekkah lagi bersyariat kita tentu merasa prihatin dan kecewa. Tingkat mana kita mendukung sebuah kegiatan yang bermamfaat untuk negeri dan rakyat yang mayoritas Islam, walaupun sebagian ada yang hanya di KTPnya saja. Sedang untuk yang leha-leha kita rela buang-buang uang, tenaga, waktu, agar duta Aceh tidak terdegradasi dari KDI. Tidak salah memang jika kita mendukung dan menjagokan duta KDI dari Aceh. Tapi sekarang, mari kita menakar sejauh mana kita memberi dukungan pada dua ajang “adu suara” tingkat nasional itu.

Aroma KDI begitu menggema di seluruh penjuru Aceh. Sedang MTQ, tak perlu saya katakan tidak ada dukungan yang sama sekali. Tapi juri kadang belum “berpihak” pada Aceh. Atau duta Aceh belum bisa “menghipnotis” dewan Juri MTQ nasional.

Adalah beberapa hal kedepan yang perlu kita antisipasi dan persiapkan, jangan sampai kembali terjatuh pada lubang yang sama. Benar memang, prestasi kali ini lebih baik dari tahun lalu. Tapi prestasi kali ini tidak bisa di tukar sama sekali dengan dana 5 Miliar itu. Maka yakinlah, akan banyak orang Aceh yang kecewa kepada para pemangku jabatan penting negeri ini karena tidak menggunakan uang Aceh tepat sasaran.

Pertama, Pemda sudah sepantasnya mendukung dan mengadakan setiap kegiatan MTQ tingkat Gampong sampai Kecamatan/Kota di Aceh. Untuk mencari bibit unggul yang bisa mewakili Aceh pada tingkat nasional dan membuahkan prestasi yang membanggakan. Sudah sepantasnya Pemda mendukung serta membina kader-kader yang berpotensi dan mampu bersaing tingkat nasional.

Kedua, perlu di lakukan evaluasi secara menyeluruh dan komperehensif pada tubuh LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran). Apa saja kerja mereka selama ini. Atau jangan-jangan mereka tidak bekerja sama sekali, kalaupun ada hanya sebatas melepaskan tugas dan tanggung jawab (cilet-cilet) untuk membuat laporan pada atasan agar dana cepat cair dan sebagainya.

Ketiga, perlu di bentuk sebuah Tim Pencari Bibit Unggul Qari Qariah dari Pemerintah Aceh untuk mencari duta MTQ yang benar-benar punya bakat dan kemampuan dalam mengharumkan nama Aceh di tingkat Nasional. Ini perlu kerja keras dari Pemerintah dan Tim untuk terjun langsung kelapangan dimana setiap ada kegiatan MTQ tingkat gampong dan kecamatan.

Tugas ini adalah beban bagi kita semua, para ulama dan umara harus bersatu padu untuk selalu mengagungkan Al-Quran dan menjadikan sebagai perdoman hidup yang tidak bisa tergantikan. Dan bukankah kita tidak lagi ada kendala jika setiap kegiatan MTQ kita laksanakan, karena Aceh hampir 3 tahun tidak lagi perang dan konflik bersenjata.

Sebuah harapan bagi kita pada MTQ ke 23 adalah tidak lagi mendapatkan prestasi yang memalukan. Kedepan , saya yakin akan banyak lahir orang-orang yang bisa diandalkan. Bukankan para Calon Legislatif pada 2009 juga bisa menjadi duta pada MTQ Nasional nantinya?. Karena menurut kabar dari seorang teman yang aktif di sebuah partai lokal; sekarang mereka mulai ramai-ramai belajar membaca Al-Qur’an sebagai salah satu syarat untuk lolos sebagai Caleg. Dan jika saja ada duta Aceh yang diwakili oleh Caleg, maka kita tidak sepantasnya malu. Justru bangga tentunya. Ada Anggota dewan kita yang menjadi duta MTQ nasional.

Muhadzdzier M.Salda adalah siswa Sekolah Menulis Do Karim yang bermarkas di Ulee Kareng Banda Aceh

8 Komentar

Filed under Muhadzdzier M. Salda

8 responses to “KDI dan Kontes Al-Qur’an

  1. zavista

    zier, cari aja lagi hal2 remeh temeh yang bisa kau ganggu gugat. Biar jadi tak remeh. (pecahkan sja gelas, biar rame.) – keep in style!

  2. taufar banta

    zier, tulisan qmu mw di publikasikan via media dakwah boleh khan?

  3. Muhadzdzier

    coba kontak ke pengurus setia blog sindikat aja. ku harap mereka tidak keberatan.

    media dakwah apa?

    • Urus Setia

      hak cipta di tangan penulis 🙂

      • MANSUR

        sekedar masukan:
        hak siar di tangan sindikat. kecuali penulis mengirim ke media lain pada waktu yang sama. media yang mau siar kembali dakwah bin muhazzier wajib bikin surat permohonan izin siar kembali, lalu kirim ke admin-urus setia. keep in role and ethic first! bravo for all…

  4. Muhadzdzier

    kupikir karena ini sudah di muat di blog sindikat,
    maka untuk Urus Setia blog yang lebih berhak mengelola hak siar kembali tulisan ini pd media lain, dengan tetap mengkonfirmasi kepada si penulis.
    demikian,

    • Urus Setia

      hak cipta di tangan penulis, tapi kalau ada yang mau mengutip harus mencantumkan dari mana sumbernya dan tanggung jawab tulisan di tangan penulis

Tinggalkan Balasan ke hasan Batalkan balasan