Kota si Louis dan Katrina

Ditulis oleh: Mifta Sugesty

SEPEREMPAT jam sudah lewat dari tengah malam ketika pesawat yang aku dan rombongan tempati tiba di bandar udara. “Selamat datang di New Orleans, Louisiana. Waktu setempat menunjukkan…”, aku menguap acuh tak acuh dengan suara Pramugari. Lalu berjinjit – jinjit berusaha menarik ransel yang penuh pakaian dalam dan keripik kentang dari kompartemen diatas kepala, secepatnya menjadi bagian dari barisan lambat orang – orang yang juga ingin keluar dari kabin pesawat. Seorang anak berkulit cokelat yang berdiri didepanku menarik lengan ibunya dan setengah merengek berkata,”Tengo hambre, Mama.” Aku lapar.

Di dekat tempat pengambilan bagasi, patung besar Louis Amstrong berdiri meniupkan terompet hingga pipinya terlihat menggembung. Kantukku hilang, berganti dengan semangat berlebihan ketika melihat senyum orang – orang yang sekilas berpas – pasan di koridor bandara. Sebentar saja aku membaui watak dan ekspresi wajah yang familiar.

UDARA diluar bandara terasa hangat dan tidak bergerak. Tiga puluh derajat Celcius dan ini masih bulan April. Wajar untuk Louisiana  yang secara geografis bertempat di bagian selatan negara Amerika, menggantung di muara sungai Mississippi, dan berada di atas Teluk Mexico. Deretan pohon pisang dan palem di pinggir badan jalan juga bukan sesuatu yang langka. Meski bagian utara USA baru saja memasuki musim semi, pohon – pohon masih setengah botak, angin masih kencang, temperatur masih dingin, bahkan salju masih turun di beberapa tempat.

New Orleans sendiri adalah kota eksotis, kampung musik jazz, ranah wisata, penuh seniman dan makanan seafood berempah. Namun letak geografis New Orleans yang berada diatas teluk Mexico membuatnya rawan akan badai. Mungkin masih segar dalam ingatan, beberapa bulan setelah musibah tsunami di Aceh, berita di televisi menayangkan cuplikan Badai Katrina . Ini memang bukan pertama kalinya New Orleans dihantam badai, hanya saja Katrina adalah salah satu yang terdahsyat.

Masih berhubungan dengan geografis, kontur kota New Orleans ini seperti mangkuk. Dataran yang berada di dekat sungai Mississippi secara alami memiliki dataran yang lebih tinggi, bertugas seperti bendungan untuk mencegah banjir luapan sungai. Sebaliknya, semakin jauh dari sungai, datarannya semakin rendah, bahkan bisa mencapai 3m dibawah permukaan laut.

Berada di bawah permukaan laut hanya membuat kerusakan bencana Katrina semakin parah. Karena hujan badai tersebut bukan hanya menghancurkan, namun membawa air sungai Mississippi bersamanya ke dalam kota. Dan seperti fungsi mangkuk untuk menampung kuah, maka New Orleans menampung banjir hingga 80% area di kota tergenam air.

DULU ketika mendengar berita tentang Katrina, aku membayangkan orang – orang kaukasian di USA yang dalam keadaan baik – baik saja. Didukung lagi oleh berita di TV siang yang menunjukkan helikopter dan tentara bertebangan menolong orang – orang yang terperangkap didalam rumah saat banjir, persis film – film aksi tipikal Holiwood. “Tenang, mereka itu punya alat canggih yang seperti di film Batman atau Star Wars, lihat tuh, nenek tua di TV aja masih sempat nyelamatin kucing peliharaan”, kataku untuk menenangkan sepupuku yang masih trauma mendengar berita tentang bencana setelah apa yang terjadi di Aceh.

Tapi setelah beberapa hari di New Orleans, isu mengenai ketidak – adilan pemerintahan jaman Presiden Bush dalam menanggapi bencana semakin mencuat. Lambatnya pertolongan darurat yang datang hingga lambatnya proses rehab rekon masih menjadi pembahasan hingga saat ini, pasca empat tahun Katrina.

Kimberly Bay, seorang aktivis dan profesor yang aku temui sempat menjabarkan panjang lebar mengenai isu Diskriminasi, Kelas, dan Previlege yang sedikit banyak masih tertanam pada sistem kehidupan masyarakat di Amerika bagian selatan, seperti New Orleans ini contohnya.

Mayoritas penduduk di New Orleans adalah warga Afro-Amerika. Aku sendiri tidak begitu paham sebabnya. Namun secara general jika di telusuri dari sejarah secara umum, ini disebabkan oleh pemerintah Perancis dahulu membawa para budak dari Afrika untuk membangun New Orleans, sebelum kota itu diambil alih oleh USA.

Perumahan warga Afrika Amerika dan Kaukasian di kota tersebut pun terlihat sedikit terpisah. Dalam jumlah besar warga kaukasian memiliki rumah yang terletak di lingkungan elite dengan dataran tanah yang lebih tinggi. Sehingga ketika banjir yang disebabkan Katrina terjadi, kerusakan yang dialaminya pun tidak separah seperti di perkampungan warga Afro- Amerika. Seperti yang terjadi di komplek perumahan Lower Ninth Ward yang hampir semua penduduknya adalah Afro- Amerika.

KETIKA Katrina datang, banyak warga yang tidak memiliki mobil tidak bisa keluar dari kota untuk mengevakuasi diri sendiri dan keluarga. Alih – alih, mereka berkumpul di stadion Super Dome yang tidak terkena banjir selama berhari – hari tanpa toilet dan makanan. “Saya ingat sekali, saat itu tetangga saya mati lemas di samping saya, sedangkan istrinya terus menangis. Sementara bantuan dari pemerintah tidak datang – datang”, ucap Irvin, 38 tahun, warga Magazine Street yang sempat mengungsi juga ke Super Dome.

Seorang volunteer yang berasal dari New Jersey menunjukkan koran tahun 2005 yang memuat foto dua pemuda Afrika Amerika yang membobol toko serba ada. Foto tersebut disertai Headline,”…Katrina membuka kesempatan bagi para kriminal”. Sedangkan dihalaman yang berbeda, dicantumkan foto seorang pria paruh baya berkulit putih yang juga membobol toko serba ada, namun headline-nya berbeda menjadi,”…Katrina membuat pria malang ini membobol toko agar keluarganya tidak kelaparan”.

Melihat koran tersebut, Kimberly Bay lagi – lagi tertawa,”Mau bagaimana lagi? Memang itu yang ada dipikiran masyarakat kita kebanyakan. Stereotip bahwa kami yang negro ini tukang buat onar dan tidak berpendidikan, sedangkan mereka yang bukan negro adalah orang – orang yang lebih terhormat. Itu realita yang dibentuk pemerintah sejak negara ini pertama kali lahir”.

MENATAP Lower Ninth Ward membuat perasaanku kembali tersetir. Memoriku kembali menggambarkan keadaan lingkungan rumahku setelah tsunami datang karena kurang lebih begitulah yang kulihat di Lower Ninth Ward. Keadaannya masih senyap. Mayoritas rumah – rumah belum diperbaiki dan kosong. Tanda silang yang besar terdapat di pintu – pintu rumah, menunjukkan berapa orang dan binatang peliharaan yang meninggal di rumah tersebut saat badai datang. Di sebagian tembok rumah, aku bisa melihat bekas batas ketinggian air saat banjir. Jalan masih rusak.  Tanaman ivy beracun, bunga berwarna pink yang aku tidak tahu namanya, dan rumput yang tinggi menjalar disegala tempat.

Dari sebuah rumah terdengar suara radio yang memainkan lagu When The Saint Goes Marching In. Spontan aku berjalan mendatangi rumah tersebut dan mendapati seorang ibu sedang duduk – duduk di teras rumah.

“Panggil saya Rose”, katanya dengan aksen kental.

Awalnya aku sedikit kaget begitu tiba – tiba dia menawarkan Es Teh. Mungkin karena aku sudah terbiasa tinggal di Northeastern USA yang orang – orangnya cenderung lebih dingin dan sibuk. Aku sudah hampir tidak mengenali lagi keramahan sederhana yang biasa kudapati di Aceh, sesederhana menawarkan teh kepada orang yang datang kerumah. Padahal ibuku di Aceh saja sering menyuruhku merebus air dan membuatkan teh kepada salesman keliling yang mencoba menawarkan panci, walaupun biasanya  ibuku tidak berniat membelinya.

“Rose, kamu bahkan belum tahu aku berasal darimana tapi sudah menawarkan Es Teh?”, kataku bingung. Dia tertawa dan memeras buah lemon kedalam Es Tehnya,” Saya sudah lama tidak dikunjungi tamu. Biarlah kali ini saya menjamu orang asing. Sepi sekali disini sekarang, tetangga – tetangga saya masih belum kembali ke rumahnya sejak Katrina.”

KARENA ketinggian tanahnya yang berada dibawah permukaan laut, kontroversi sempat tersebar mengenai rehab – rekon New Orleans. Sebagian beranggapan New Orleans tidak layak di tempati. Namun warga New Orleans kebanyakan adalah keluarga besar yang tinggalnya saling berdekatan. Jika New Orleans tidak layak ditempati, mereka tidak tahu harus tinggal dimana lagi. Tidak banyak saudara yang tersebar di state lain.

“Pemerintah selalu menolong bencana yang terjadi di luar negri, tapi tidak di rumah sendiri. FEMA-pun, badan rehab – rekon yang menangani New Orleans, tidak banyak menolong. Orang – orang luar negri mungkin berpikir masalah pasca Katrina ini sudah lama usai karena kami adalah negara yang kaya. Tidak banyak relawan asing yang datang membantu, tidak jelas kenapa sebabnya, bisa jadi karena itu tadi, mereka berpikir kami ini negara kaya”, kata Rose lagi.

Aku diam – diam memperhatikan baju yang dipakai Rose. Jeans kumal yang mungkin sudah berkali – kali dicuci sampai warnanya pudar dan kaos oblong polos berwarna hijau yang kainnya sudah menipis. Lagi – lagi aku teringat sumbangan pakaian yang diberikan USA ke Aceh seminggu setelah tsunami. Saat itu ratusan potong jumlahnya dan rata -rata dalam kondisi yang sangat baru.  Aku sendiri saat itu mendapat dua potong sweater berlabel Adidas dan celana panjang LL Beans.

Rasanya ingin sekali aku bertanya ke Rose perihal bantuan yang sudah ia dapat dari pemerintahUS.  Tapi ia terus bertanya tentang Aceh dan jilbab hingga aku merasa sungkan untuk memotong pertanyaan – pertanyaanya. Sayangnya, tidak terasa sepanjang sore sudah habis dan aku harus pulang ke penginapan untuk rapat dengan rombongan membicarakan pekerjaan yang harus dilakukan besok harinya.

TIDAK jauh dari Lower Ninth Ward,  Frech Quarter yang menjadi paru – paru kota terlihat gemerlap di malam hari. Tepatnya di Bourbon Street, salah satu jalan termahsyur di seluruh USA yang menjadi sasaran para turis, pesta berlangsung tanpa henti. Beberapa jazz band bermain live di bar – bar, penari striptis, toko souvenir, patroli polisi berkuda, badut – badut, dan lautan kepala manusia teraduk menjadi satu. Seakan ingatan mengenai Katrina sudah lama pudar.

Kemiskinan, diskriminasi, dan kriminalitas masih menjadi masalah terbesar, tapi New Orleans tidak berhenti menjadi  magnet bagi para turis. Dan pesta tidak pernah usai sepanjang malam, sepanjang tahun.

Di depan gedung Preservation Hall yang mengalunkan musik Dixie Jazz, sepasang love birds sedang berciuman. Segerombolan anak muda disebelahku mengayun – ayunkan segelas besar bir dan berteriak dalam bahasa asing, tebakanku adalah bahasa Perancis. Pelukis cacat duduk dipinggir jalan menawarkan jasa menggambar self potret untuk orang – orang yang lewat.  Bourbon Street hiruk dan pikuk. Juga padat seperti tumpukan sardin yang dikemas rapat – rapat dalam kaleng hampa udara. Namun yang ada di pikiranku saat itu adalah Rose dengan radionya yang kesepian tanpa tetangga.

Jefferson St, Louisiana. 2009

1 Komentar

Filed under Mifta Sugesty

1 responses to “Kota si Louis dan Katrina

  1. Nindy

    Perfectly done, Mita! Oh ya, ada yang term yang perlu diedit sedikit sepertinya, sorry kemarin tidak aku baca dulu. Nanti aku kirim email.

    Nindy

Tinggalkan komentar