Jembatan Tisu

Ditulis oleh: Raisa Kamila

Saya dan Kanber Colak, laki- laki muda dari Turki, bertemu pada sebuah kebetulan yang menyenangkan: kami sama- sama menikmati tulisan Orhan Pamuk yang kemudian, mempertemukan kami di acara peluncuran buku terbarunya, Museum of Innocence, yang baru diterjemahkan dalam bahasa Jerman, bahasa yang baik bagi saya –siswi pertukaran pelajar—maupun Kanber, yang sudah lebih dulu tinggal di Switzerland, masih terdengar asing dan sulit dipahami.

Acara peluncuran buku itu akan dimulai jam 6 sore, jadi saya, Kanber dan seorang teman Indonesia, Sigit, bertemu di stasiun kereta Luzern sekitar jam 5 sore, dan dengan tuntunan teman perempuan Kanber, kami menuju ke aula Universitas Luzern, tempat acara dilangsungkan. Pada awalnya, saya mengira acara itu akan berlangsung dengan akrab dan sederhana: Orhan Pamuk dan audiens berdiskusi tanpa jarak. Tapi saat sampai di aula Universitas Luzern, perkiraan saya tadi langsung menguap.

Satuan keamanan yang lengkap, yang memeriksa setiap peserta membawa undangan dan juga memeriksa kemungkinan diseludupkan apa pun yang sekiranya menganggu ketertiban acara, aula yang besar, dengan lampu kristal bersinar kekuningan yang tidak terlalu mencolok, juga meja panjang di depan tempat duduk audiens, yang sudah ditulisi nama- nama pembicara: Valentin Graebner, Orhan Pamuk, Recai Hallaç, dan Thomas Steinfeild menambah sedikit kesan secara pribadi, bahwa suasana acara peluncuran buku ini akan menjadi lebih formal.

Keterlambatan acara membuat saya sedikit tidak sabar, kemudian mencoba membaca tulisan tentang Orhan Pamuk di Süddeutsche Zeitung edisi akhir pekan, tapi karena artikel panjang tersebut ditulis dalam bahasa Jerman, dan mengingat kemampuan bahasa Jerman saya belum cukup memadai untuk membaca tulisan semacam itu, saya kemudian mengajak Kanber, yang sedang serius membaca artikel itu, untuk sedikit berbicara. Sebelumnya, Sigit memberitahu saya bahwa Kanber bekerja di kebun arbei, dan itu membuat saya takjub sekaligus iri; membayangkan seharian bekerja di kebun arbei dan bisa memakan arbei sebanyak mungkin.

Saya tidak tahu terlalu banyak tentang Turki. Salah satu teman sekelas saya di sekolah, Gamze Atas, memiliki keluarga asal Turki yang masih akrab dengan kebiasaannya. Sesekali, Gamze mengajarkan saya dan teman- teman sekelas bahasa Turki saat sedang makan siang bersama, atau menunjukkan koleksi lagu band rock asal Turki yang digemarinya. Saya dan Gamze duduk bersebelahan pada kelas Geografi, dan sesekali kami membahas hal- hal yang tidak terlalu saya pahami tentang Turki. Tentang kesultanan Utsmaninyah/Ottoman yang kemudian dibentuk menjadi negara dengan paham sekularisme, tentang İstanbul yang menarik, tentang Turki yang kurang lebih seperti digambarkan dalam buku- buku Pamuk, berada di antara Barat dan Timur, tentang masalah dalam negri Turki yang sebelumnya saya tidak ketahui. Saya menanyakan hal ini juga pada Kanber, tapi dia menyahut pendek,

“Saya Kurdi, bukan Turki,”

Saya merasa pernah mendengar kata ‘Kurdi’ itu sebelumnya, dan kemudian teringat pada hari- hari sebelum musim dingin, sekelompok orang yang jumlahnya ratusan memadati Helvetiaplatz, Zürich dengan membawa bendera- bendera yang kelihatan sama tapi berwarna- warni; merah, hijau. Saya menghampiri beberapa orang yang berdiri di sekitar Helvetiaplatz itu, tempat banyak aksi dilangsungkan, dan menanyakan pada seorang perempuan, aksi apa yang sedang berlangsung, tapi perempuan itu malah balik bertanya pada saya dengan bahasa Jerman,

“Kamu orang apa? Somalia? Arab?”

Saya menjelaskan bahwa saya orang Indonesia keturunan Turki. Dari garis keturunan keluarga pihak ibu yang pernah dibuat, saya mengetahui bahwa saya adalah generasi kelima dari kakek Turki bernama Salami Beck, tapi saya berpikir menambahkan hal terakhir ini karena melihat banyak diantara kerumunan itu orang yang berwajah Asia Barat. Perempuan itu kemudian menunjukkan raut kebingungan, dan menjawab,

“Kami sedang melakukan aksi menuntut pemerintah Turki yang melakukan pembunuhan pada etnis Kurdi.”

Kurdistan

Kurdistan

Saya kemudian meninggalkan Helvetiaplatz dengan rasa penasaran dan sejak itu mulai mencari tahu tentang kaitan etnis Kurdi dan Turki. Dari Gamze, saya tahu sedikit tentang etnis- etnis yang mendiami Turki seperti Albania, Kurdi, Arab, Assyiria, Bosnia, Turki dan juga sekte agama semacam Syi’ah, Sunni, Alevi atau Yazidi. Gamze sendiri, mengaku adalah orang Alevi, tapi keluarganya sudah lama meninggalkan kebiasaan berpuasa, shalat dan lainnya.

“Usaha kami untuk mendapat hak yang sesuai ditanggapi pemerintah dengan cara- cara kekerasan,” kata Kanber dan kemudian menceritakan bahwa berbicara dengan bahasa Kurdi termasuk hal yang terlarang di Turki.

Kanber kemudian terdiam dan melihat gambar rokok yang bertulisan ‘SAMSUN’ yang berada di koran Süddeutsche Zeitung. Di artikel tentang Pamuk yang belum saya pahami, ada banyak gambar barang- barang yang dikumpulkan Pamuk selama 10 tahun terakhir untuk dipajang di museum yang dibangunnya di İstanbul. Jam saku, sendok dan wadah garam, kuas, gigi palsu, kacamata hitam dengan bingkai bunga- bunga, mancis bergambar mawar dan angsa, obat nyamuk semprot, poster film Hazreti İbrahim, dan senter berwarna perak yang mirip dengan kepunyaan nenek saya.

Novel terbaru Pamuk, Museum of Innocence sedikitnya bercerita tentang Kemal, yang meyukai saudara sepupu jauhnya, Fusun yang berjarak usia sekitar 12 tahun. Kemal kemudian berusaha mengumpulkan barang- barang yang bisa mendapatkan sentuhan tangan Fusun. Pada akhirnya, Kemal membuat museum tentang barang- barang yang memiliki kaitan dengannya dan Fusun. Tapi Pamuk menampik pernyataan bahwa museum yang dibangunnya adalah gambaran tentang novel, dan novel yang ditulis adalah keterangan tentang museum. Pamuk melihat masing- masing museum dan novelnya sebagai hal yang berdiri sendiri.

“Ini rokok kesukaan saya waktu di Turki dulu,” kata Kanber sambil menunjuk gambar rokok ‘SAMSUN’. Saya melihat gambar rokok yang bungkusannya berwarna merah dan putih itu, dan ikut terdiam dengan Kanber. Seperti larut dalam pikiran masing- masing tentang hal yang berjarak dengan kami sekarang.

“Tidak ada hal lain yang saya sukai tentang Turki, kecuali mungkin İstanbul dan rokok Samsun,”  Kanber mencium jari- jarinya dan kemudian mengangkat rendah tangannya dengan riang ke udara saat mengucapkan ‘İstanbul’.

Kanber meninggalkan Turki pada tahun 2005 dan merantau sendirian ke Switzerland, meninggalkan keluarganya. Dalam bahasa inggris yang bercampur dengan bahasa jerman, Kanber berusaha menjelaskan bahwa setelah mendapat bantuan suaka politik dari CARITAS Switzerland, Kanber diizinkan untuk pergi ke negara mana pun kecuali Turki. Kanber meninggalkan kampusnya di Turki karena terlibat gerakan pembebasan Kurdi dan dipenjara selama 2,5 tahun di İzmir. Saat masa tahannya dinyatakan selesai, ternyata pemerintah Turki merasa perlu menangguhkan masa tahanannya lebih lama lagi dan karena itu Kanber masuk secara ilegal ke Switzerland.

Acara peluncuran buku terlambat limabelas menit, dan saat Pamuk memasuki aula dengan dua pengawalnya, seluruh peserta acara bertepuk tangan meriah. Sepanjang acara, Pamuk berbicara dalam bahasa Turki yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh Recai Hallaç. Beberapa kali pernyataan kocak Pamuk dalam bahasa Turki lebih dulu dipahami beberapa orang Turki yang berada di aula, termasuk Kanber, dan tawa dari audiens yang hanya mengerti bahasa Jerman tertunda karena menunggu terjemahan.

Saya mengatakan pada Kanber, bahwa sedikitnya dia seperti tokoh Ka dalam novel Pamuk yang lain, Snow, tentang eksil Turki di Jerman.

“Saya tidak merasa mirip Ka, tapi Pamuk memang semacam pahlawan bagi saya. Selain menulis buku- buku yang bagus, dia membuat semacam pembelaan kepada minoritas Kurdi.”  Malam itu, pikiran saya kemudian penuh dengan perihal tentang perlawanan pembebasan, bangsa- bangsa yang terlupakan, dan kenangan tentang kampung yang ditinggalkan.

***

Saya dan Kanber, setelah pertemuan di acara peluncuran buku Orhan Pamuk sepakat untuk bisa bertemu di lain kesempatan, untuk sekedar berbicara ringan tentang kebun arbei, buku lain yang ditulis Pamuk atau usaha- usaha pembebasan etnis Kurdi yang membuat saya penasaran.

Pada hari Kamis, hari pertama salju turun deras di tempat tinggal saya di kanton Zürich, Kanber menghubungi saya yang sedang duduk di perpustakaan sekolah  dengan seorang teman. Kanber yang tinggal di kanton Luzern sedang berada di Zürich, dan menanyakan kemungkinan untuk bertemu saat itu. Saya mengiyakan, dan mengambil kereta dari kota sekolah saya berada, Winterthur ke Zürich dan sampai dua puluh menit kemudian, sekitar jam 1 siang. Saya tiba di Zürich HB/Hauptbahnhof dan mencari Kanber di kerumunan orang- orang yang menunggu di Treffpunkt atau meeting point.

“Halo,” sapa Kanber yang menghampiri saya dari salah satu sudut Treffpunkt. “Ini Syafik, dia juga ‘eksil’ seperti saya,” kami kemudian tertawa saat Kanber memberi penekanan yang lucu pada kata ‘eksil’. Bagi Kanber, ‘eksil’ adalah ungkapan yang aneh, tapi saya berkeras mengatakan bahwa itu ungkapan yang tepat untuknya.

Saya, Kanber dan Syafik menuju Marché, tempat makan prasmanan di lantai bawah Zürich HB. Saya belum pernah tahu ada tempat makan semacam Marché yang menyediakan banyak jenis makanan termasuk makanan Asia dengan harga yang terjangkau. Barangkali ini yang membuat Marché dipadati orang- orang dari berbagai bangsa dan membuat suasana tempat makan itu riuh oleh segala macam bahasa yang pada akhirnya, terdengar tidak lebih seperti bunyi- bunyian yang membingungkan.

“Raisa, kamu bisa bicara masalah James Joyce dengan Syafik,” ujar Kanber tiba- tiba. Saya memang sempat mengikuti kelab membaca novel karya James Joyce-Ulysses di museum literatur Zürich setiap Selasa sore dan ternyata Syafik adalah mahasiswa sastra Inggris Universitas Zürich, setelah meninggalkan kuliah di Turki karena perihal yang sama seperti Kanber.

Tapi Syafik, berbeda dengan Kanber, mengaku bukan penggemar Orhan Pamuk.

“Yah, saya tahu Pamuk, tapi saya bukan penggemarnya. Saya bahkan belum membaca tulisannya.”

Saya dan Kanber sama- sama bertanya kenapa, Syafik kemudian terdiam sebentar seperti mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan alasannya itu, “Saya belum ingin membaca saja. Saya tidak mau membaca Pamuk cuma karena dia menang Nobel Prize,” Kanber tersenyum dan membakar rokoknya.

“Lihat Raisa, dia seperti orang yang benar- benar paham sastra,” sahut Kanber dan kami tertawa lagi. Saya mengulum es krim rasa vanilla, memperhatikan dua laki- laki Kurdi di hadapan saya mengaduk- aduk cangkir kopi.

Syafik lalu melanjutkan, “Benar, saya tidak mau membaca Pamuk cuma karena alasan Nobel Sastra itu,” Syafik terdiam lagi dan tertawa kecil. “Lagipula itu bukan Nobel Prize for Literature, tapi Nobel Politic Prize for Literatur.”

Saya lagi- lagi bertanya kenapa, dan Syafik berusaha menjelaskan dengan mengatakan ‘How-To-Say’ yang dilakukan setiap kali dia harus menjelaskan sesuatu yang barangkali lebih dipahaminya dalam bahasa Kurdi.

“Penghargaan itu tidak lagi dianugerahkan untuk penulis dengan kualitas yang bagus –saya tidak mengatakan Pamuk tidak berkualitas—tapi dia (Pamuk) seolah menjual isu Kurdistan dan Armenia agar menimbulkan kontroversi internasional, mempengaruhi dunia seakan- akan karena itu, dan juga sedikit pembahasan tentang Kurdi dan Armenia di bukunya, dia layak mendapat Nobel Sastra,”

Pernyataan Orhan Pamuk pada majalah terbitan Switzerland, Das Magazin edisi Februari 2005 tentang 30.000 orang Kurdi dan sejuta orang Armenia yang dibunuh di Turki memang menimbulkan banyak tanggapan dari berbagai kalangan. Akhir tahun 2005, Pamuk dituding dengan dakwaan kriminal oleh pemerintah Turki, namun hal ini justru menghambat Turki sendiri untuk masuk sebagai anggota Uni Eropa. Karena pernyataannya itu pula, Pamuk hingga kini menerima kecaman dari kelompok ultra-nasionalis dan ultra-religius di Turki.

Meskipun seruan agar Pamuk dibebaskan dari dakwaan disampaikan oleh delapan sastrawan dunia yaitu José Saramago, Gabriel Garcia Márquez, Günter Grass, Umberto Eco, Carlos Fuentes, Juan Goytisolo, John Updike dan Mario Vargas Llosa, namun sebagian pengamat tetap beranggapan bahwa di balik pernyataannya itu Pamuk tidak lebih hanya menginginkan Nobel Prize tahun 2005 yang ternyata diberikan untuk dramawan Inggris, Harold Pinter.

Suasana Marché semakin riuh menjelang jam makan siang. Es krim vanilla saya habis, dan saya melanjutkan dengan mencubit- cubit cup muffin rasa kacang yang tidak terlalu enak. Marché yang semakin padat dengan orang- orang dari berbagai bangsa membuat Kanber, Syafik dan saya –yang berbicara dengan bahasa inggris― merasa perlu berbicara setengah berbisik.

Saya merasa seperti dilibatkan pada pembicaraan kelompok perlawanan bawah tanah yang menegangkan. Hal ini membuat saya tidak bisa berhenti tersenyum dan ikut memperhatikan orang- orang lain yang berkeliaran di sekitar meja kami. Kecurigaan aneh pada orang- orang, yang mungkin bagian dari jaringan keamanan internasional semacam CIA, yang tidak menghendaki adanya negara baru: Kurdistan.

“Tapi Kanber ‘lebih’ daripada saya,” kata Syafik merujuk pada pengalaman perlawanan mereka untuk pembebasan etnis Kurdi. Kanber tersenyum sungkan.

Kanber dan Syafik sama- sama bergerak untuk gerakan pembebasan etnis Kurdi di Turki, namun keduanya berada pada ranting organisasi yang berbeda. Mereka bertemu di Switzerland dan menjadi akrab satu sama lain. Sekitar 60.000 orang Kurdi menetap di Switzerland membuat Kanber dan Syafik lebih banyak bergaul dengan sesamanya ketimbang dengan penduduk asli Switzerland yang menurut mereka, cenderung kaku dan tertutup.

Pada akhir perang dunia pertama tahun 1920, negara- negara adidaya Eropa merancang Treaty of Sevres di Paris Peace Conference yang menjamin kebebasan etnis Kurdi untuk berdaulat dalam sebuah negara. Sejak 6300 sebelum masehi, etnis Kurdi yang tinggal di pergunungan Zagros dan Taurus –bagian tenggara Turki― yang menurut Kanber, merupakan bagian dari peradaban Mesopotamia.

Saat kesultanan Ottoman mula- mula berdiri pada tahun 1453, kerajaan Kurdi mulai diserang dan baru pada tahun 1880 dibawah pimpinan Syeikh Said, etnis Kurdi kembali melakukan serangan kepada kesultanan Ottoman. Namun harapan etnis Kurdi untuk menjadi bangsa yang berdaulat tidak pernah terwujud. Tiga tahun berselang setelah jaminan kemerdekaan dari Treaty of Sevres di Paris, etnis Kurdi dipecah ke empat negara yaitu Turki, Syiria, Iraq dan Iran sesuai kesepakatan lanjutan, Treaty of Lausanne yang ditandatangani pada 24 Juni 1923 oleh Prancis, Inggris dan kesultanan Ottoman di Lausanne, Switzerland.

“Kami seperti orang Israel; bangsa tanpa tanah. Sialnya lagi kami terbagi di empat negara. Tanah kami, barangkali akan berada ditengah- tengahnya; di tenggara Turki, di barat Iran, di utara Iraq dan di bagian timur Syiria,” tutur Syafik sedikit kesal.

Biarpun sesama bangsa tanpa tanah seperti Israel, baik Kanber maupun Syafik menolak untuk menggalang dukungan internasional atau negara adidaya untuk mendapat kedaulatan bangsanya. Entah karena campur tangan negara adidaya Eropa yang kemudian tidak memenuhi kesepakatan yang pernah dibuat, mereka kemudian memilih untuk berjuang sendiri.

Ini membuat saya penasaran.

“Atau barangkali, jika Mao Tse Tsung masih hidup dia akan membantu kami,” kata Kanber dan kami kemudian tergelak lagi. “Saya tidak sepenuhnya percaya pada paham komunis, tapi beberapa hal yang mereka terapkan tidak ada salahnya,” lanjutnya lagi.

Saya membayangkan negara baru di Timur Tengah sekarang ini, namun samasekali bukan berhaluan agama Islam yang Sunni atau Syiah atau dengan pemerintah sekuler seperti Turki sekalipun.

Etnis Kurdi yang keseluruhannya di dunia berjumlah sekitar 30 juta jiwa juga tersebar di Armenia, Azerbaijan, Inggris dan negara Eropa lain. Rentang tahun 1983-1987, sekitar 300.000 rakyat Kurdi ‘menghilang’. Orhan Pamuk, menyatakan dirinya seoranglah yang berani berbicara tentang perlakuan semacam ini, pembunuhan rakyat Kurdi oleh pemerintah Turki.

Untuk mengantisipasi gerakan pembebasan Kurdi, pemerintah Turki mengklaim etnis Kurdi adalah orang Turki yang hilang di gunung dan lupa dirinya adalah Turki. Di Iraq, Sekitar 4.000 desa dan 100.000 orang Kurdi menjadi korban perang Al-Anfal yang dilakukan pemerintah pada tahun 1988. Perlakuan pemerintah Iran dan Syiria terhadap etnis Kurdi juga tidak kurang buruknya.

Sementara itu, gerakan perlawanan terus dilakukan oleh beberapa partai patriotis Kurdi di Iran, Iraq dan Turki. Tapi, Partai Buruh Kurdistan di Turki yang dipimpin Abdullah Ocalan diklaim seringkali melakukan tindak kekerasan dan mendapat tudingan teroris dari pemerintah Turki. Gamze dan keluarganya berpendapat yang sama, dan mengatakan pada saya dengan datar,

“Abdullah Ocalan is not a good man.”

Menurut keluarga Gamze, pemerintah Turki juga berusaha mempengaruhi AS dan Uni Eropa untuk mengeluarkan pernyataan yang sama.

Namun, lebih dari itu semua, Leyla Zana, aktivis perempuan yang sempat dipenjara selama sepuluh tahun karena aktivitas politiknya untuk keadilan bagi etnis Kurdi di Turki menjadi orang Kurdi pertama yang menerima Sakharov Human Right Prize in Europe pada tahun 2004. Pada saat yang bersamaan, pemerintah Turki sedang dalam pembicaraan akhir untuk menjadi anggota Uni Eropa namun beberapa hal tetap menyandung pemerintah Turki untuk menjadi anggota penuh Uni Eropa, termasuk perlakuan tidak adil kepada etnis Kurdi.

Saya dan Gamze lebih senang menertawakan tentang kegagalan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa dengan mengutip sebuah judul tulisan di koran, ‘The Bridge is Too Far’, yang merujuk pada jembatan Bosphorus yang memisahkan sebagian daratan Turki dengan Eropa.

Tidak seperti halnya Leyla Zana atau aktivis Kurdi lainnya, Kanber dan Syafik merasa tidak perlu untuk menyampaikan berita buruk tentang nasib etnis Kurdi, paling tidak pada orang- orang Swiss sendiri.

“Percuma, mereka hanya akan mengatakan ‘Arme’,” kata Kanber yang kemudian disetujui oleh Syafik. ‘Arme’ adalah ungkapan dalam bahasa jerman untuk menyatakan perasaan terhadap sesuatu yang menyedihkan.

“Di kampus memang ada beberapa teman yang bisa diajak ‘bicara’, tapi nyaris tidak ada yang paham kenapa kami terus melawan dan kenapa kami harus berdaulat,” ujar Syafik dengan sedikit gelisah.

Seorang pelayan bermuka Asia Barat terus mondar- mandir di meja kami. Apa karena kami hanya numpang duduk di Marché yang bertambah sesak sementara kami tidak memesan apa- apa lagi?
Marché seperti tempat alternatif untuk orang- orang dari bangsa lain yang merasa asing terhadap kehidupan serba mapan dan membosankan di Switzerland. Pekerja- pekerja bank dari Amerika Selatan, ibu muda dari Afrika Utara, sekelompok remaja perempuan bangsa Tamil, mahasiswa Kurdi yang menjadi pelarian politik dari Turki, dan saya sendiri, pelajar dari Aceh yang merasa bosan karena harus terus menyesuaikan diri dengan dinamis, mapan dan pasifnya kehidupan di Switzerland.

“Kami tidak perlu bantuan negara manapun untuk mendapat kedaulatan kami,” kata Kanber sambil melirik jam tangannya. Beberapa polisi berdiri di pintu masuk Marché, saya menjadi sedikit gugup.

“Banyak orang yang mengatakan ini utopia, tapi kami akan mendapat kedaulatan dengan usaha kami sendiri,” sambung Syafik dan kemudian kami terdiam saat tiga polisi laki- laki dan satu polisi perempuan melintas di meja kami. Obrolan acak kami berhenti, dan tidak lama kemudian kami meninggalkan Marché tapi saya belum sempat menghabiskan muffin rasa kacang yang tidak terlalu enak itu.

11 Komentar

Filed under Raisa Kamila

11 responses to “Jembatan Tisu

  1. Bagus Dek Sasa, GREAT! Selesai juga tulisan Kurdinya ya? =)

    Disini juga udah mulai heboh sedikit – sedikit tentang Kurdi. Tapi kan memang panasnya di Eropa ya? Secara banyak eksilnya yang di Eropa.

  2. iya nih ta, dari Oktober ngerjainnya baru sekarang bisa siap. Di sini ya gak panas- panas amat, yang ribut ya cuma di kalangan mereka- mereka aja sih.. eh, ditunggu tulisan eksil Afghan punya dek Mita!

  3. Nindy

    Mantap Resa! Oh ya nanti aku bawa pulang buku gila yang ada juga sebut2 kurdi dalam chapter bukunya, nanti kita bahas sama2 waktu bertemu.

    Note: James Joyce itu goblok, aku ga suka cerpennya, random mati. haha

    Nindy

  4. Yeah, kemarin dapat jurnal dari Institut Kurdi di Paris juga, lumayan untuk bahan tulisan sekuel hahahaha

    Note: Joyce emang aneh, tapi dia katanya mempengaruhi tulisan Borges (?) dan aku gak ikut lagi kelab baca itu

  5. zavista

    Masalah pengaruh Joyce pada borges coba tanya langsung pada pak Frizt Seen kepala Yayasan James Joyce di Zurich. Novelis itu benar aneh karena dalam sebuah novelnya setidaknya ada sejumlah paragraf cuma sekali titik. Yeaacch!

  6. Pak Frizt gak tau banyak tentang Joyce sebenarnya. Dia memang bisa jelasin beberapa hal yang orang gak tau (contohnya kenapa di bab terakhir Ulysess itu gak ada tanda baca, katanya karena jaman Joyce tulis Ulysess, tanda baca itu gak begitu penting dsb)
    tapi untuk pengaruh tulisan Joyce pada Borges dia kurang tahu. Aaaahh..

    • T. Fajriman

      Tentang Pak Frizt yang tahu banyak tentang James Joyce, terutama karyanya yang ditulis selama 6 tahun; ulysses, saya sempat baca referensi sedikit di buku catatan perjalanan Sigit Susanto jilid II; Menyusuri Lorong Dunia.

      Tapi, aneh juga, bayangkan, Pak Frizt dengan sekelompok orang-orang, umumnya lansia, punya acara baca Ulysses selama tiga tahun baru tamat.

      Thanks,

      • Urus Setia

        Tiga tahun untuk tamat itu karena perhari mereka bacanya tiga atau dua halaman, dibacain audiobook juga
        dan disela penjelasan Pak Fritz dalam sejam. Ada yang udah ikut selama lima tahun, dan biarpun udah tamat
        tetap dibaca berulang- ulang dengan penjelasan yang sama.

        Trims

  7. Bagus ya ! seumur2 aku ga tau masalah kurdi itu, rupanya guru aku juga ada yang kurdi. Orang turki bisa membedakan langsung mana orang turki dan kurdi. Layaknya kita membedakan aceh-jawa-papua.
    Mengenai masalah Alevi ; mereka memang tak shalat seperti kita islam-sunni, dalam sejarah yg aku ketahui mereka mengikuti Sayyidina Ali yang meninggal ketika sedang shalat, mereka menganggap seluruh shalat telah dilakukan dan berakhir pada Ali. Makanya ga shalat lagi.
    eh, tp aku ga tau alasan kenapa turki ditolak untuk masuk Uni Eropa. Tau ga kenapa ?

  8. masalah politik itu han, bisa jadi kayak yang aku sebut itu:
    a. pembantaian kurdi dan armenia
    b. the ‘bridge’ is too far
    c. dsb dsb

    hahaha ngaco ah

  9. hhahahaha..
    iya, jembatan bosphorus itu memang panjang dan indah.
    kalau ga salah aku, butuh waktu hampir 15 menitan untuk lewat sepanjang jembatan tu..

Tinggalkan komentar